jeritan hati padang-solok

Assalamu'alaikum temen2 semua..
selamat malam di malam yang dingin ini..
disini saya ingin bercerita sedikit,, bisa dibilang curhat lhaa...

sebelumnya saya mau bertanya kepada temen2 semua.. sebenarnya tugas manusia di bumi Allah ini sebagai apa sih???
setau saya sih sebagai khalifah kan yaa,, (pemimpin-red)
tapi saya sangat2 miris ketika melihat ciptaan Allah rusak,, dirusak oleh manusia..
dimana letak ke-khalifahan manusia saaat ini???
bukannya menjaga koq malah merusak???
dimana hati nurani kalian wahai para yang punya "uang"????????
seharusnya kalian itu mengayomi,, bukan malah menghancurkan seperti ini..

                                                                    padang - solok

ketika di perjalanan pergi-pulang padang-solok saya benar2 miris melihat puncak perbukitan yang sudah tidak rupa lagi tertanam pepohonan.. pepohonan yang dahulunya masih lebat sekarang hanya tinggal tanah tak bertuan yang sewaktu-waktu bisa terjadi erosi bahkan longsor yang dapat dengan jelas membahayakan rumah yang ada di bawahnya..
dan yang paling membuat saya miris yaitu ternyata diatas sana sedang terjadi kegiatan alat berat-mobil gerobak yang mengambil tanah dari tempat ituu..
haruskah mengambil dari puncak perbukitan itu?? apakah tidak ada lagi tanah kosong yang dapat kalian gunakan untuk kegiatan kalian???

kalian memank jahat,, kalian tiidak memedulikan kami-kami yang di bawah yang setiap saat dapat mengalami dampak dari itu semua???
apakah kalian tidak "mikir"?????? atau bahkan kalian tidak mempunyai otak untuk memikirkan itu semua..
untuk apa kalian memperkaya diri kalian sendiri tetapi kami-kami yang menjadi korbannya..
mikir lha.. mikir


cukup itu sajaa..
wassalamu'alaikum wr.wb

Sejarah Kesuburan Tanah di Indonesia


SEJARAH KESUBURAN TANAMAN

Tisdale & Nelson, 1975
Zaman purba
·         Pengenalan tentang tanah subur
·         Pegalaman dalma hal bercocok anam
·         Penemuan bahan-bahan penyubur tanah

Abad ke-18
·         Awal penelitian-penelitian
·         Pengembangan pokok-pokok pikiran pakar
·         Penyelidikan awal fisiologi tanaman
·         Prinsip air, hara, dan bahan-bahan alami
·         Awal percobaan-percobaan pertumbuhan tanaman dengan perlakuan-perlakuan

Kemajuan pada abad ke-19
·         Awal pengetahuan tentang respirasi dan fotosintesis
·         Pengenlan sumber unsur hara dalam tanah
·          Awal percobaan lapangan
·         Hukum minimum Liebig

Syekhfani, 2005

·         Penerapan system “Revolusi Hijau” di Indonesia akhir tahun 70-an s/d 80-an, dari padi sentra, Bimas, Inmas Insus, Supra Insus, Gema Palagung, Korporat Farming, dan Ketahanan Pangan.

·         Penggunaan “Panca Usaha Tani” (olah tanah, irigasi, bibit unggul, pupuk, dan pestisida) produksi / produktivitas padi sawah meningkat, puncaknya capai swasembada beras (tahun 1984); akhirnya “leveling off” (produksi rata2 nasional 5,0 Jatim 5,5 ton GKG/ha)

·         Jenis pada unggul berpotensi produksi >10 ton GKG/ha; “leveling off” akibat pupuk dan / atau pestisida berlebih, ketidak-imbangan hara serta terganggunya biodiversitas siklus tumbuh tanaman.

·         Mengacu pada system tradisional alami (natural system), unsur hara tanah imbang dan diversifikasi jenis tanaman, system bero tanpa penggunaan pupuk / pestisida buatan pabrik, dan air irigasi tak tercemar, hidup petani sejahtera lingkungan hidup sehat.

·         Tindakan intensifikasi lahan mengarah pada degradasi tanah dan pencemaran lingkungan, pupuk N,P,K artifisial dosis tinggi terus menerus, tanpa imbangan hara esensial lain, pestisida/herbisida nonselektif, air irigasi tercemar, berdampak negative bagi hidup manusia, hewan, dan tanaman. Hidup semakin tidak nyaman.

·         Paradigma baru kesuburan tanah bersifat sustainable yaitu tanah tidak statis tapi dinamis

·         Fokus  tidak hanya sifat fisik dan kimia saja tapi juga biologi. Peran bahan organic multipurpose (ganda), responnya nyata, bahan organikkunci kesuburan tanah, serta kunci berlanjut

·         Negara-negara maju beralih ke pangan sehat. Amerika Serikat sejak 1990-an kurun 5 tahun sehingga meningkatkan konsumsi organic dari 5% hingga 20%

·         Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat Eropa, Kanada dan Australia

·         Impor produk pertanian sehingga mensyaratkan produk “system organic”

·         Akhir-akhir ini SPO didskusikan dan diterapkan, meski belum begitu dipahami

·         Pemerintah / swasta mengaji apakah system ini layak sebagai alternative budidaya sehingga diterima local, regional, nasional atau global

·         Bila SPO layak, maka perlu dipikirkan pengembangan aspek onfarm / off-farm; industry hulu/hilir, pelaku produksi (pemerintah, swasta, lemlit/PT, perbankan, pasar, dll)

·         Semuanya harus punya persepsi dan komitmen sama pada SPO

·         Kesulitan beralih ke SPI berorientasi pada produksi tinggi masukan liar tinggi (high external input agricukture, HEIA) vs produksi rendah masukan luar rendah (low external input agriculture, LEIA0 sehingga dilakukan daur ulang meski pun berlanjut

·         Perlu tindakan bersifat evolusional bukan revolusional

·         Butuh erubahan sikap perilaku pelaku produksi / konsumsi seperti tersebut diatas

·         Focus pembenahan terutama ditujukan bag para konsumen sebagai pengguna, diikuti oleh produsen (petani) beserta para pendukung produksi, serta pelaku pasar.

·         Dalam hal ini, pemerintah berperan sebagai fasilitator, regulator, dinamisator, dan eksekutor

·         Secara geografis, peluang SPO: komoditi holtikultura (buahan/sayuran/bunga-bungaan) > perkebunan > tanaman pangan

·         Hortikultura dataran tinggi (upper stream) relative lebih mudah dikendalikan daripada perkebunan /pangan dataran rendah

·         Lahan sawah beririgasi sangat riskan terjadi pencemaran tergantung pada kualitaas air irigasi, apakah megalami pencemaran atau tidak

Wilayah utama daratan Nusantara terbentuk dari dua ujung Superbenua Pangaea di Era Mesozoikum (250 juta tahun yang lalu), namun bagian dari lempeng benua yang berbeda. Dua bagian ini bergerak mendekat akibat pergerakan lempengnya, sehingga di saat Zaman Es terakhir telah terbentuk selat besar di antara Paparan Sunda di barat dan Paparan Sahul di timur. Pulau Sulawesi dan pulau-pulau di sekitarnya mengisi ruang di antara dua bagian benua yang berseberangan. Kepulauan antara ini oleh para ahli biologi sekarang disebut sebagai Wallacea, suatu kawasan yang memiliki distribusi fauna yang unik. Situasi geologi dan geografi ini berimplikasi pada aspek topografi, iklim, kesuburan tanah, sebaran makhluk hidup (khususnya tumbuhan dan hewan), serta migrasi manusia di wilayah ini.
Bagian pertemuan Lempeng Eurasia di barat, Lempeng Indo-Australia di selatan, dan Lempeng Pasifik di timur laut menjadi daerah vulkanik aktif yang memberi kekayaan mineral bagi tanah di sekitarnya sehingga sangat baik bagi pertanian, namun juga rawan gempa bumi. Pertemuan lempeng benua ini juga mengangkat sebagian dasar laut ke atas mengakibatkan adanya formasi perbukitan karst yang kaya gua di sejumlah tempat. Fosil-fosil hewan laut ditemukan di kawasan ini.
Nusantara terletak di daerah tropika, yang berarti memiliki laut hangat dan mendapat penyinaran cahaya matahari terus-menerus sepanjang tahun dengan intensitas tinggi. Situasi ini mendorong terbentuknya ekosistem yang kaya keanekaragaman makhluk hidup, baik tumbuhan maupun hewan. Lautnya hangat dan menjadi titik pertemuan dua samudera besar. Selat di antara dua bagian benua (Wallacea) merupakan bagian dari arus laut dari Samudera Hindia ke Samudera Pasifik yang kaya sumberdaya laut. Terumbu karang di wilayah ini merupakan tempat dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi. Kekayaan alam di darat dan laut mewarnai kultur awal masyarakat penghuninya. Banyak di antara penduduk asli yang hidup mengandalkan pada kekayaan laut dan membuat mereka memahami navigasi pelayaran dasar, dan kelak membantu dalam penghunian wilayah Pasifik (Oseania).
Benua Australia dan perairan Samudera Hindia dan Pasifik di sisi lain memberikan faktor variasi iklim tahunan yang penting. Nusantara dipengaruhi oleh sistem muson dengan akibat banyak tempat yang mengalami perbedaan ketersediaan air dalam setahun. Sebagian besar wilayah mengenal musim kemarau dan musim penghujan. Bagi pelaut dikenal angin barat (terjadi pada musim penghujan) dan angin timur. Pada era perdagangan antarpulau yang mengandalkan kapal berlayar, pola angin ini sangat penting dalam penjadwalan perdagangan.
Dari sudut persebaran makhluk hidup, wilayah ini merupakan titik pertemuan dua provinsi flora dan tipe fauna yang berbeda, sebagai akibat proses evolusi yang berjalan terpisah, namun kemudian bertemu. Wilayah bagian Paparan Sunda, yang selalu tidak jauh dari ekuator, memiliki fauna tipe Eurasia, sedangkan wilayah bagian Paparan Sahul di timur memiliki fauna tipe Australia. Kawasan Wallacea membentuk "jembatan" bagi percampuran dua tipe ini, namun karena agak terisolasi ia memiliki tipe yang khas. Hal ini disadari oleh sejumlah sarjana dari abad ke-19, seperti Alfred Wallace, Max Carl Wilhelm Weber, dan Richard Lydecker. Berbeda dengan fauna, sebaran flora (tumbuhan) di wilayah ini lebih tercampur, bahkan membentuk suatu provinsi flora yang khas, berbeda dari tipe di India dan Asia Timur maupun kawasan kering Australia, yang dinamakan oleh botaniwan sebagai Malesia. Migrasi manusia kemudian mendorong persebaran flora di daerah ini lebih jauh dan juga masuknya tumbuhan dan hewan asing dari daratan Eurasia, Amerika, dan Afrika pada masa sejarah.



GAHARU


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Gaharu merupakan produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam bentuk gumpalan, serpihan atau bubuk yang memiliki aroma keharuman khas yang bersumber dari kandungan bahan kimia berupa resin (α-β oleoresin). Gaharu terbentuk dalam jaringan kayu, akibat pohon terinfeksi penyakit cendawan (fungi) yang masuk melalui luka batang (patah cabang). Komoditas gaharu telah cukup lama dikenal masyarakat secara umum. Beberapa jenis tanaman gaharu yang dikenal antara lain (Aquilaria malaccensis Lamk) adalah salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki mutu sangat baik dengan nilai ekonomi tinggi karena kayunya mengandung resin yang harum baunya. Gaharu berwarna coklat kehitaman sampai hitam, berbau harum jika dibakar. Gaharu terdapat pada bagian kayu atau akar dari jenis pohon penghasil gaharu yang telah mengalami proses perubahan kimia dan fisika akibat terinfeksi oleh sejenis jamur.
Pemanfaatan gaharu di Indonesia oleh masyarakat pedalaman Sumatera dan Kalimantan, telah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Gaharu dimanfaatkan antara lain untuk pengharum tubuh, ruangan, bahkan kosmetik dan obat-obatan sederhana. Saat ini gaharu sangat sulit ditemukan sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan agar jenis ini tidak punah. Selain mencegah kepunahan gaharu ini, pembudidayaan juga dapat meningkatkan produksi gubal gaharu baik secara kualitas maupun kuantitas dan ekspor gaharu dapat berjalan dengan lancar tanpa merusak hutan alam.
Bentuk produk gaharu merupakan hasil alami dari kawasan hutan berupa cacahan, gumpalan atau bubuk. Selain dalam bentuk bahan mentah berupa serpihan kayu, juga diproses dengan penyulingan yang dapat menghasilkan minyak atsiri gaharu yang juga bemilai jual tinggi. Cairan ekstrak ini kabarnya mencapai nilai jual lebih dari USD 30.000 atau Rp. 300.000.000,-/liter tahun 2010 namun data terbaru 2011 sudah masuk diangka Rp400.000.000,-/liter. Sementara harga per batang pohonnya bisa mencapai ribu-an dollar per kilo nya. Gaharu banyak digunakan sebagai bahan parfum, obat-obatan dan bahan dupa.
Berdasarkan data kemenhut, kebutuhan gaharu dunia sangat besar yakni 4 ribu ton pertahun. Quota Indonesia 300 ton/pertahun baru dapat dipenuhi 10% inipun lebih banyak didapatkan dengan cara ilegal dan ini berasal dari gaharu alam. Temuan rekayasa produksi kayu gaharu memberi peluang yang sangat besar bagi petani di Indonesia dan keuntungan lainnya mempertimbangkan nilai jual gaharu, patut diupayakan peningkatan peranan gaharu sebagai komunitas andalan altematif untuk penyumbang devisa dari sektor kehutanan selain dari produk hasil hutan kayu. Selain itu hasil gaharu ini merupakan komoditas ekspor di negara-negara Asia Timur dan Timur Tengah dalam hal ini maka dengan meningkatkan produksi gaharu berarti akan dapat meningkatkan daya saing bangsa. Dampak lain adalah peningkatan kesejahteraan rakyat dan kelestarian sumber daya hutan dan lahan.
Kemitraan yang di tawarkan PT.SBS Gaharu yakni dengan pembinaan yang berkelanjutan mulai dari tanam sampai panen, hanya peluang ini belum sepenuhnya dimanfaatkan petani karena kurangnya sosialisasi sehingga boleh dikatakan, Indonesia masih ketinggalan dengan negara tetangga. Untuk itu kita hadir   memberikan solusi pembiayaan inokulasi dengan mengajak petani dengan pola kemitraan, dengan sistem bagi hasil, 65% untuk petani 35% untuk pihak perusahaan.

1.2. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah untuk mengetahui :
1.      Bagaimana cara budidaya tanaman gaharu.
2.       Untuk mengetahui cara  perbanyakan gaharu dalam pengadaan bibit gaharu dalam jumlah yang banyak dan relatif singkat.






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Botanis Gaharu (A. malaccensis Lamk)
Gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi baik secara alami maupun buatan, yang pada umumnya terjadi pada pohon gaharu.
Gaharu (A. malaccensis Lamk ) dapat ditemukan di Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Iran, Laos, Malaysia, Myanmar, Philipina, Singapore, dan Thailand. Gaharu hanya diambil gubalnya yang mengeluarkan bau harum. Keharuman gubal gaharu terbentuk oleh kayu yang mengalami pelapukan dan mengandung damar wangi (aromatic resin) sebagai akibat serangan jamur. Dengan kata lain, gaharu atau gubal gaharu merupakan substansi aromatik berupa gumpalan atau padatan berwarna coklat muda sampai coklat kehitaman yang terbentuk pada lapisan dalam dari kayu tersebut. Substansi aromatik yang terkandung dalam gubal gaharu ini termasuk dalam golongan sesquiterpena.
Taksonomi atau klasifikasi gaharu (Aquilaria) adalah sebagai berikut :
Kingdom         : Plantae
Divisio             : Spermatophyta
Class                : Dicotyledonae
Ordo                : Myrtales
Family             : Thymeleceae
Genus              : Aquilaria
Species            : A. malaccensis Lamk
      Secara ekologis jenis-jenis gaharu di Indonesia tumbuh di hutan primer terutama di dataran rendah, dan daerah pegunungan sampai ketinggian 2.400 m dpl. Umumnya gaharu yang berkualitas baik tumbuh pada daerah beriklim panas dengan suhu 28° - 34° C, kelembaban 60 – 80 %, dan curah hujan 1.000 – 2.000 mm/tahun (Sumarna, 2002 dalam Martesa 2006).
Tinggi pohon di daerah potensial, gaharu ini dapat mencapai 4 meter dengan diameter 50 – 80 cm. Kulit batangnya licin berwarna putih atau keputih-putihan, lurus atau kadang-kadang beralur. Kayunya agak keras, daun lonjong memanjang dengan panjang 5 – 8 cm dan lebarnya 3 – 4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilat. Bunga berada diujung ranting atau ketiak daun bagian atas dan bawah. Buah berada di dalam polong berbentuk bulat atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm, dan lebar 3 cm (Sumarna, 2002 dalam Martesa 2006).

2.2 Jenis Getah Gaharu
Ada dua jenis getah gaharu:
Getah berwarna kuning adalah getah dengan kualitas rendah. Getah berwarna hitam, getah ini kualitasnya tinggi dan langka. Itu semua karena diperlukan perawatan khusus untuk menghasilkan getah berwarna hitam.
Kayu Gaharu dan Sarang Walet.
Dewasa ini, dengan maraknya usaha sarang walet di perkotaan terutama di daerah kota Banjarmasin, kayu gaharu ikut menjadi naik daun. Ini tak lepas dari kepercayaan penduduk setempat yang mengatakan bahwa bau harum dari kayu gaharu dapat membuat burung walet semakin banyak memasuki sarang “elitnya” di tengah perkotaan. Hal ini turut membuat harga kayu gaharu semakin meningkat tajam.
Kayu gaharu yang dipercaya dapat mengundang burung walet masuk ke sarangnya, ternyata bukan sembarang kayu gaharu. Ada pola-pola tertentu dari urat kayu yang secara alami terbentuk pada bagian batang kayu yang dipilih dan dipercayai sebagai jimat pemanggil walet. Kepercayaan ini yang ternyata membawa hasil pada sebagian pengusaha (pemilik) sarang burung walet yang membuat harga sepotong kecil kayu gaharu mencapai harga jutaan bahkan miliaran rupiah.
2.3  Pembentukan Gaharu
            Gaharu dihasilkan tanaman sebagai respon dari masuknya mikroba yang masuk ke dalam jaringan yang terluka. Luka pada tanaman berkayu dapat disebabkan secara alami karena adanya cabang dahan yang patah atau kulit terkelupas, maupun secara sengaja dengan pengeboran dan penggergajian. Masuknya mikroba ke dalam jaringan tanaman dianggap sebagai benda asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan suatu senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit ataupatogen. Senyawa fitoaleksin tersebut dapat berupa resin berwarna coklat dan beraroma harum, serta menumpuk pada pembuluh xilem dan floem untuk mencegah meluasnya luka ke jaringan lain.
Namun, apabila mikroba yang menginfeksi tanaman dapat mengalahkan sistem pertahanan tanaman maka gaharu tidak terbentuk dan bagian tanaman yang luka dapat membusuk. Ciri-ciri bagian tanaman yang telah menghasilkan gaharu adalah kulit batang menjadi lunak, tajuk tanaman menguning dan rontok, serta terjadi pembengkakan, pelekukan, atau penebalan pada batang dan cabang tanaman. Senyawa gaharu dapat menghasilkan aroma yang harum karena mengandung senyawa guia dienal, selina-dienone, dan selina dienol. Untuk kepentingan komersil, masyarakat mengebor batang tanaman penghasil gaharu dan memasukkan inokulum cendawan ke dalamnya. Setiap spesies pohon penghasil gaharu memiliki mikroba spesifik untuk menginduksi penghasilan gaharu dalam jumlah yang besar.
2.4 Budi Daya Tanaman Gaharu
Mengingat tanaman gaharu atau yang sebenarnya adalah tanaman atau pohon penghasil kayu gaharu merupakan komoditi hutan yang mahal harganya, pembudidayaan tanaman gaharu digemari di berbagai tempat. Gaharu ini dihasilkan dari tanaman atau pepohonan yang terinfeksi atau sengaja diinfeksi yang tumbuh di daerah tropis.
Penyebab timbulnya infeksi sehingga dapat menghasilkan gaharu pada tanaman gaharu (tanaman penghasil gaharu) masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut. Namun dugaan awal terjadinya gaharu adalah adanya tiga elemen penyebab proses infeksi tersebut, yaitu: luka pada bagian tanaman atau batang pohon yang akan menghasilkan gaharu, proses non-patologi, dan infeksi karena jamur.
Pengelolaan tanaman penghasil gaharu ini sama dengan perawatan tanaman jenis lainnya. Tidak diperlukan adanya perawatan khusus karena biasanya setelah tanaman berusia 6 tahun maka tanaman tersebut sudah siap untuk diinokulasi. Pembuatan lubang inokulasi sekitar 1/3 diameter pohon secara spiral dan vertikal yang diatur sedemikian rupa agar pohon tidak retak dan patah.
Perawatan yang diperlukan dan sangat disarankan dalam membudidayakan tanaman gaharu ini adalah pemupukan dengan menggunakan bahan organik. Dengan pemupukan maka pertumbuhan tanaman dapat dioptimalkan dan menghasilkan kualitas batang yang baik. Pemangkasan cabang juga sangat perlu dilakukan untuk memacu pertumbuhan pohon sehingga diameter pohon dapat berkembang sesuai yang diinginkan.
2.5  Manfaat Gaharu
            Gaharu banyak diperdagangkan dengan harga jual yang sangat tinggi. Selain ditentukan dari jenis tanaman penghasilnya, kualitas gaharu juga ditentukan oleh banyaknya kandungan resin dalam jaringan kayunya. Semakin tinggi kandungan resin di dalamnya maka harga gaharu tersebut akan semakin mahal dan begitu pula sebaliknya.
Sampai saat ini, pemanfaatan gaharu masih dalam bentuk bahan baku (kayu bulatan, cacahan, bubuk, atau fosil kayu yang sudah terkubur. Setiap bentuk produk gaharu tersebut mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda. Gaharu mempunyai kandungan resin atau damar wangi yang mengeluarkan aroma dengan keharuman yang khas. Dari aromanya itu yang sangat popular bahkan sangat disukai oleh masyarakat negara-negara di Timur Tengah, Saudi Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan Cina, Korea, dan Jepang sehingga dibutuhkan sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetika, dupa, dan pengawet berbagai jenis asesoris serta untuk keperluan kegiatan keagamaan. Seiringnya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi industri, gaharu bukan hanya berguna sebagai bahan untuk industri wangi-wangian saja, tetapi juga secara klinis dapat dimanfaatkan sebagai obat. Gaharu bisa dipakai sebagai obat anti asmatik, anti mikroba, stimulant kerja syaraf dan pencernaan, obat sakit perut, penghilang rasa sakit, kanker, diare, tersedak, tumor paru-paru, tumor usus, penghilang stress, gangguan ginjal, asma, hepatitis, dan untuk kosmetik. 

DAFTAR PUSTAKA

Anonym. SNI 01-5009.1-1999: Gaharu. Badan Standar-disasi Nasional (BSN).  1999
Soehartono, Tonny; Gaharu: Kegunaan dan Pemanfaatan.  Disampaikan pada Lokakarya Tanaman Gaharu di Mataram tanggal 4 – 5 September 2001
Santoso, U. dan Nursandy, F..2004. Kultur Jaringan Tanaman. Edisi II. Universitas Muhamadyah Malang Press. Malang.
Standar Nasional Indonesia. 1999. Gaharu. Jakarta. Diakses dari http://www.bpdas musi.net/_userdata/BkGaharu.pdf.
Sumarna, Y. 2005. Budidaya Gaharu. Penebar Swadaya. Edisi ke II. Jakarta. Universitas
Rohadi, Dede dan Suwardi Sumadiwangsa, Prospek dan Tantangan Pengembangan Gaharu di Indonesia: Suatu Tinjauan dari Perspektif Penelitian dan Pengembangan, Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu di Mataram.

INDUKSI KETAHANAN CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP KUTU KEBUL (Aleurotrachelus trachoides) (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) DENGAN   RIZOBAKTERI...